- Yusrizal Adytia Firdaus
- Posted on
- No Comments
Jakarta — Terletak di bagian belakang dan bawah otak besar kita, neuron zombie sering dijuluki sebagai “otak kecil” meskipun mengandung lebih dari separuh neuron otak – memainkan peran penting dalam mengoordinasikan gerakan dan belajar kita.
Otak kecil ini sangat penting tidak hanya untuk memungkinkan kita melakukan aktivitas sehari-hari dengan tepat, seperti menavigasi ruangan yang ramai atau berolahraga, tetapi juga membantu kita belajar mengasosiasikan isyarat sensoris dengan tindakan motorik. Setiap kali kita menyesuaikan genggaman kita seperti untuk mencegah minuman pada gelas tumpah, otak kecil kita dapat menghubungkan sinyal visual dengan respons motorik.
Pembelajaran melibatkan otak kecil untuk evaluasi secara terus-menerus terhadap rangsangan eksternal dan hasil tindakan kita, menggunakan informasi tentang kesalahan untuk menyempurnakan koneksi saraf. Penyesuaian ini menyebabkan perubahan dalam cara kita merespons isyarat tertentu dari waktu ke waktu.
Mengajarkan sinyal di otak melalui isyarat sensoris dan tindakan motorik
Dalam studi terkait Nature Neuroscience, mereka melakukan percobaan dengan menggunakan teknik yang disebut optogenetika. Metode ini berfungsi seperti kendali jarak jauh yang sangat tepat untuk sel-sel otak, menggunakan cahaya dalam menghidupkan atau mematikan sel-sel tertentu pada waktu yang sangat spesifik.
“Serat panjat biasanya merespons rangsangan sensoris seperti embusan udara ke mata. Dengan mengaktifkan serat-serat ini secara tepat menggunakan optogenetika, kami dapat mengelabui tikus yang menjadi objek penelitian agar mengira ia menerima hembusan udara, padahal sebenarnya tidak. Setelah kami secara konsisten menstimulasi serat panjat selama presentasi isyarat visual, tikus tersebut belajar berkedip sebagai respons terhadap isyarat tersebut – bahkan saat tidak ada rangsangan. Hal ini membuktikan bahwa serat-serat ini cukup untuk mendorong pembelajaran asosiatif jenis ini,” jelas Tatiana Silva, penulis utama dari studi ini sekaligus seorang peneliti ilmu saraf di Champalimaud.
Menyesuaikan pola aktivitas tertentu pada sel otak yang ditargetkan
Menggali lebih dalam data mereka, tim peneliti ini menemukan perubahan yang tidak terduga. Untuk mengontrol aktivitas serat panjat melalui optogenetika, mereka memperkenalkan protein peka cahaya yang dikenal sebagai Channelrhodopsin-2 (ChR2) ke dalam neuron spesifik ini. Namun, mereka mengamati bahwa tikus yang direkayasa untuk mengekspresikan ChR2 gagal belajar menggunakan teknik hembusan udara konvensional.
“Ternyata memasukkan ChR2 ke dalam serat panjat mengubah sifat alaminya, mencegahnya merespons rangsangan sensoris standar seperti hembusan udara dengan tepat. Hal ini sepenuhnya menghalangi kemampuan mereka untuk belajar,” kata penulis senior Megan Carey, pemimpin kelompok Program Neuroscience di Champalimaud.
“Hal yang luar biasa adalah bahwa tikus yang sama ini belajar dengan sangat baik ketika kami memasangkan aktivasi serat panjat dengan isyarat visual, bukan embusan udara,” tambah Silva. Penemuan yang tidak disengaja ini merealisasikan tujuan yang telah lama dicari dalam ilmu saraf, yaitu menyesuaikan pola aktivitas spesifik pada neuron yang ditargetkan tanpa sepenuhnya menghentikan komunikasinya.
Memanjat serat sebagai neuron zombie
Metode ini menawarkan pendekatan yang lebih baik untuk menyelidiki dampak langsungnya. Mendorong Silva untuk mengistilahkannya sebagai neuron zombie yang diartikan ‘hidup dengan fungsinya, namun terlepas dari peran mereka yang biasa pada sirkuit otak. “Hasil ini menjadi bukti paling kuat hingga saat ini bahwa panjat sinyal serat sangat penting untuk pembelajaran asosiatif otak kecil,” simpul Carey.
Sumber:
Silva, N.T., Ramírez-Buriticá, J., Pritchett, D.L. et al. Climbing fibers provide essential instructive signals for associative learning. Nat Neurosci (2024).